Operasi pada F-16 dimulai dengan skuadron pada tahun 1989 setelah pengiriman semua 12 pesawat telah diselesaikan. Peran utama skuadron adalah pertahanan udara, sementara serangan darat adalah tugas sekunder. Semua pesawat dikirim dalam Peningkatan Kemampuan Operasional (OCU) standar memberikan mereka beberapa kapasitas kemudian model C / D, termasuk upgrade F100-PW-220 mesin dengan kontrol digital, ketentuan untuk AIM-120 dan AGM-65 rudal. Yang terakhir telah dilakukan selama bertahun-tahun, sementara AMRAAM rudal tidak pernah diadopsi.

 
Pada tahun 1999 TNI-AU mulai upgrade F-16s dengan program 'Falcon-Up' memiliki 8000 jam umur yang tersedia bagi mereka. Sejak akhir tahun sembilan puluhan Namun, servis pesawat telah rendah sejak pengiriman suku cadang dari AS dihentikan pada beberapa kesempatan, dengan hanya sejumlah kecil pesawat yang tersedia setiap saat.

Viper Indonesia dengan skema kamuflase khas [TNIAU foto]
 
Indonesia F-16 telah memiliki bagian mereka dari skema kamuflase yang berbeda selama bertahun-tahun. Skema warna asli adalah tiga nada kamuflase biru-abu-abu. Hal ini berubah pada tahun 2000 menjadi kamuflase makhluk abu-abu hijau yang disebut 'skema Millenium'.
Dalam skuadron tradisi aerobatic ada yang dilanjutkan dengan pengiriman F-16. Tim pertama untuk mendirikan disebut 'Elang Biru' (Blue Falcon). Mereka mulai demonstrasi terbang pada tahun 1995. Skema warna pesawat berpartisipasi diubah menjadi terang biru dan kuning pada tahun 1996. Tim ini dibubarkan pada tahun 1998, tetapi pada tahun 2001 sebuah tim baru dibentuk dengan nama 'Jupiter Biru'. Alih-alih soliter F-16 Unit, kali ini tim terdiri dari F-16, Elang MK-53 dan Elang Mk.109.
Pada tahun 2014 yang pertama dari 24 pesawat bekas yang dibeli dari USAF mulai arrivinf di Indonesia . Sebelum skuadron khusus mereka - 16 - didirikan, pesawat ini pertama kali dilantik menjadi skuadron. Pada akhirnya hanya 18 dari airframes ini dimaksudkan untuk pergi ke skuadron baru dengan 6 yang tersisa tinggal dengan skuadron ke-3 untuk menambah 10 sisa model A / B. UNTUK membawa semua airframes ini untuk standar yang sama, rencana berada di tempat untuk memberikan ini lebih tua airframe yang MLU pembaruan, tapi waktu akhir atau anggaran belum diputuskan belum.

TNI-AU F-16A blok 15 # TS-1611 yang kembali dari misi. [Foto oleh Alex Sidharta]

Pesawat Penandaan Sejarah

1989 - 1996 Skema ini terdiri dari tiga nada kamuflase biru-abu-abu. Tidak ada Unit insigna atau negara insigna yang ditampilkan pada pesawat.
1996 - 2000 Selama periode ini lengkap Indonesia armada F-16 dicat dengan skema Elang Biru. Skema ini memiliki warna dasar biru pada ekor dengan band kuning berjalan di atasnya. Nomor seri diterapkan di tengah dengan bendera Indonesia di atas.
2000 - sekarang Skema kamuflase abu-abu-hijau baru diperkenalkan disebut 'skema Millenium'. Nomor seri ditampilkan di tengah ekor dengan tanda merah di atas, yang dari Wing ke-3.

Unit Sejarah

  • 1951: Aktivasi skuadron di Tjililitan
  • 1951: P-51D / K 'Mustang'
  • 1958: P-51D / K 'Mustang' (Abdulrachman Saleh AB)
  • 1960: P-51D / K 'Mustang' (bagian dari 3 Wing)
  • 1976: OV-10F 'Bronco'
  • 1989: F-16A / B 'Fighting Falcon' (Lanud AB)
  • 2014: F-16C / D 'Fighting Falcon' (simultan)

F-16 Airframe Inventarisasi


F16B Falcon TNI AU (Foto edy permono)
Kelincahan pesawat F-16 Falcon ini lahir berdasarkan dari penemuan manuver 40 detik F-105 Thunderchief dalam perang Vietnam yang berhasil mengalahkan sejumlah pesawat MiG 17 lawan, April 1965.
Proyek pembelian F-16 TNI AU dinamakan Proyek Bima Sena. Indonesia membel1 12 unit F-16 A/B dari Block 15 OCU standar, dengan harga US$ 32 juta per unit.
F-16 tim aerobatik Elang Biru
Di Indonesia tahun 1990-an, F-16 pernah di daulat menjadi tim aerobatik Elang Biru, lalu Juli 2003, pesawat ini mencatat sejarah karena berhasil mengintersep dan menyuruh pulang empat F/A-18 Hornet AS yang bermanuver di atas Bawean. Tercatat 2 unit pesawat ini mengalami kecelakaan, sehingga total hanya 10 unit yang dimiliki TNI AU saat ini.

Tahap pertama pesawat datang pada tanggal 12 Desember 1989, menyusul tanggal 7 Januari 1990, 7 Mei 1990 dan terakhir 22 Desember 1990. Empat penerbang dikirim ke Luke AFB untuk menjalani program pelatihan terbang, yaitu : Letkol Pnb Wartoyo, Mayor Pnb Basri Sidehabi, Mayor Pnb Rodi Suprasodjo, dan Mayor Pnb Eris Heryanto. Mereka belajar selama enam bulan.
F-16 A/B TNI AU ini dilengkapi radar AN/APG-66, menggunakan Inertial Navigation System (INS) dan Radar Warning Receiver (RWR). Berikut rudal udara ke udara AIM-9 P-4 Sidewinder, dan rudal udara ke darat  AGM-65D Maverick,
Tahun 1999, Indonesia sebenarnya berencana menambah lagi F-16 dari Pakistan, karena Pakistan saat itu ada masalah keuangan, lalu ke sembilan pesawat F-16 untuk Pakistan ditawarkan ke Indonesia. Sayang rencana pembelian pesawat ini tiba-tiba dibatalkan AS. lalu TNI AU mendapat kesulitan suku cadang karena di embargo AS.
TNI AU membuktikan kehandalan F-16 A/B, ketika mencegat aksi F/A-18 Hornet AL AS di atas Bawean, walau kalah jauh, keberanian kru Skadron Udara 3 kala itu patut di uji.
Tercatat kedepan TNI AU akan membeli 24 unit pesawat F-16 C/D Block 25 bekas reserve AS, yang kemudian di upgrade semuanya menjadi Block 52 menjadi tipe F-16 CJ/DJ yang di rencanakan akan datang tahun 2014 berserta 6 unit tambahan yang akan digunakan sebagai suku cadang. Pembelian ini sempat menjadi polemik karena pesawat bekas, tapi karena kebutuhan akan armada pesawat udara yang masih jauh dari kata ideal dan menunggu pesawat penggantinya, berupa pesawat IFX yang bekerjasama dengan Korea Selatan. Semoga rencana pembuatan pesawat ini sukses dan bisa menjadi modal Indonesia memulai mandiri membuat pesawat tempur yang sekelas generasi 4,5 ke atas.

F-16 TNI AU melakukan pengawalan RI1
F-16 A TNI AU (Foto montormiber)
F-16 B TNI AU (Foto montormiber)
Mungkin diantara anda belum pernah mendengar insiden Bawean.
Insiden Bawean adalah duel udara pesawat tempur F-16 TNI-AU dengan pewat tempur F/A 18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) yang menerobos masuk wilayah Indonesia di atas kepulauan Bawean. Ini bukan latihan militer, ini kenyataan.

Tanggal 3 Juli 2003, kawasan udara di atas Pulau Bawean sontak memanas ketika lima asing yang kemudian diketahui sebagai pesawat F/A 18 Hornet terdeteksi radar TNI AU. Dari pantauan radar kelima Hornet terbang cukup lama, lebih dari satu jam dengan manuver sedang latihan tempur. Untuk sememntara Kosek II Hanudnas (Komando Sektor II Pertahanan Udara Nasional) dan Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) belum melakukan tindakan identifikasi dengan cara mengirimkan pesawat tempur karena kelima Hornet kemudian menghilang dari layar radar.

Sekitar dua jam kemudian, Radar Kosek II kembali menangkap manuver Hornet. Karena itu panglima Konanudnas menurunkan perintah untuk segera melakukan identifikasi. Apalagi manuver sejumlah Hornet itu sudah mengganggu penerbangan komersial yang akan menuju ke Surabaya dan Bali serta sama sekali tak ada komunikasi dengan ATC terdekat.




Dua pesawat tempur buru sergap F-16 TNI-AU yang masing-masing diawaki Kapten Pnb. Ian Fuadi/Kapten Fajar Adrianto dan Kapten Pnb. Tony Heryanto/Kapten Pnb. Satro Utomosegera disiapkan. Misi kedua F-16 itu sangat jelas yaitu melakukan identifikasi visual dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi mengingat keselamatan penerbang merupakan yang utama. Selain itu, para penerbang diminta agar tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam. Namun demikian, untuk menghadapi hal yang terduga kedua F-16 masing-masing dua rudal AIM-9 P4 dan 450 butir amunisi kanon kaliber 20 mm.

Menjelang petang, Falcon Fligh F-16 melesat ke udara dan tak lama kemudian kehadiran mereka langsung disambut dua pesawat Hornet. Radar Falcon Fligh segera menangkap kehadiran dua Hornet yang terbang cepat dalam posisi siap tempur. Perang radar atau jamming antara kedua pihak pun berlangsung seru. Yang lebih menegangkan pada saat yang sama, F-16 yang berada pada posisi pertama telah dikunci, lock on oleh radar dan rudal Hornet. F-16 kedua yang terbang dalam posisi supporting Fighter juga dikejar oleh Hornet lainnya. Namun posisi F-16 kedua lebih menguntungkan. Jika memang harus terjadi dog fight ia bisa melancarkan bantuan.

Untuk menghindari sergapan rudal lawan seandainya memang benar-banar diluncurkan, F-16 pertama lalu melakukan manuver menghindar, yakni hard break berbelok tajam hampir 90 derajat ke arah kanan dan kiri serta melakukan gerakan zig-zag. Manuver tempur itu dilakukan secara bergantian baik oleh F-16 maupun Hornet yang terus ketat menempel. Melihat keadaan yang semakin memanas, F-16 kedua lalu mengambil inisiatif menggoyang sayap (rocking wing) sebagai tanda bahwa kedua pesawat F-16 TNI-AU tidak mempunyai maksud mengancam.

Sekitar satu menit kemudian, kedua F-16 berhasil berkomunikasi dengan kedua Hornet yang mencegat mereka. Dari komunikasi singkat itu akhirnya diketahui bahwa mereka mengklaim sedang terbang di wilayah perairan internasional. "We are F-18 Hornets from US Navy Fleet, our position on International Water, stay away from our warship". F-16 pertama lalu menjelaskan bahwa mereka sedang melaksanakan patroli dan bertugas mengidentifikasi visual serta memberi tahu bahwa posisi F-18 berada di wilayah Indonesia. Mereka juga diminta mengontak ke ATC setempat, karena ATC terdekat Bali Control belum mengetahui status mereka.

Usai kontak Hornet AS itu terbang menjauh sedang kedua F-16 TNI-AU return to base, kembali ke pangkalannya Lanud Iswahjudi Madiun. Selain berhasil bertemu dengan Hornet, kedua F-16 TNI-AU juga melihat sebuah kapal perang Frigat yang sedang berlayar ke arah timur. Setelah kedua F-16 mendarat selamat di pangkalan TNI-AU menerima laporan dari MCC Rai (ATC Bali) bahwa fligh Hornet merupakan bagian dari armada US Navy. Namun yang paling penting dan merupakan tolak ukur suksesnya tugas F-16, Hornet AL AS itu baru saja mengontak MCC RAI dan melaporkan kegiatannya.

Keesokan harinya TNI-AU terus mengadakan pemantauan terhadap konvoi armada laut AS itu dengan mengirimkan pesawat intai B737. Hasil pengintaian dan pemotretan menunjukkan bahwa armada laut AS yang terdiri dari kapal induk USS Carl Vinson, dua frigat dan satu destroyer sedang berlayar diantara Pulau Madura dan Kangean menuju Selat Lombok. Selama operasi pengintaian itu pesawat surveillance B737 terus dibanyangi dua F/A 18 Hornet AL AS. Bahan-bahan yang didapat dari misi itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan "keberatan" secara diplomatik terhadap pemerintah AS.

Skuadron F-16 RI

  skuadron16 baru F-16 ini akan bermarkas di Pekanbaru ini sebagai pasukan pemukul udara Indonesia di bagian barat. 




 
Skadron Udara (Skadud) 3 termasuk salah satu dari lima Skadron yang pertama kali dibentuk oleh TNI AU.   Dibentuk pertama kali pada tanggal 9 April 1951 di Pangkalan Udara Cililitan (sekarang Lanud Halim Perdana Kusuma) Jakarta.   Pesawat tempur yang digunakan adalah 50 pesawat P-51 Mustang.   Pada bulan Desember 1951, Skadron Udara 3 melaksanakan Operasi Boyong ke Pangkalan Udara Bugis (sekarang Lanud Abdul Rahman Saleh) Malang.

Dengan berakhirnya usia pakai P-51 Mustang, mulai tanggal 28 September 1976 Skadud 3 mulai menggunakan 16 pesawat OV-10 Bronco.  Selain itu, Skadudu 3 juga memiliki pesawat T-41D Cessna, 2 pesawat L-180 Cessna dan 3 pesawat AT-16 Harvard.

Mulai akhir tahun 1989  Skadud 3 mendapatkan kekuatan baru dengan datangnya pesawat tempur canggih F-16 A/B Fighting Falcon, melalui program “Peace Bima Sena”.   Kekuatan OV-10 digeser ke Skadud 1 Abdul Rahman Saleh Malang.    Skadud 3 ini menggunakan hanggar bekas Skadud 11 yang kekuatannya telah digeser ke Makassar.   Pesawat berkecepatan maksimum hampir 2 Mach ini, banyak menorehkan memori indah di dirgantara nasional dengan tim aerobatik “Elang Biru” nya.