Penempatan Senjata dan Nuklir di Asia Tenggara, Negara-negara ASEAN Harus Kompak Menentang

ASEAN, terutama Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, harus mempertahankan netralitas dan independensinya dari ASEAN sebagai kekuatan regional di Asia Tenggara, dari adanya campurtangan negara-negara adikuasa. Baik dari blok Barat (AS dan NATO) maupun Cina dan Rusia. Oleh sebab itu, para menteri luar negeri negara-negara ASEAN segera membuat pernyataan bersama (Common Statement) menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada Agustus 2021 mendatang.

Selain itu pada 1976, kelima negara tersebut juga berhasil menyepakati Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation, TAC), sebagai panduan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai. Dengan kedua  piagam tersebut, ASEAN mencapai keberhasilan di bidang kerjasama politik. Apalagi kemudian disusul keberhasilan dalam kerjasama regional bidang ekonomi melalui ASEAN Preferential Trading Area pada 1977.

Ketegangan militer yang memanas antara Korea Utara versus Korea Selatan sejak 2017, berpotensi untuk meluas ke kawasan Asia Tenggara. Sistem Pertahanan Anti Rudal milik Amerika Serikat atau yang dikenal dengan Terminal Hight Altitude Area Defense (THAAD) yang semula hanya ditempatkan dan diaktifkan di Wilayah Wonsan, Korea Selatan, saat ini berpotensi untuk ditempatkan di beberapa negara sekutu AS di Asia Timur maupun Asia Tenggara seperti Jepang, Taiwan maupun Singapura.

Penempatan THAAD di Korea Selatan sejatinya bukan ditujukan kepada Korea Utara semata, melainkan ke Republik Rakyat Cina, salah satu pesaing AS sebagai negara adikuasa. Sehingga  penempatan THAAD di Korea Selatan telah mengundang reaksi keras pemerintah Cina, karena dikhwatirkan kehadiran THAAD itu akan mengubah keseimbangan kekuatan militer di Semenanjung Korea yang akan merugikan posisi Cina.

Sebab THAAD memiliki kemampuan untuk mendeteksi kegiatan-kegiatan militer Cina di daerah perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Sehingga tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa kehadiran THAAD di Korea Selatan sejatinya bukan untuk menghadapi Korea Utara melainkan untuk menghadapi Cina.

Apalagi AS berencana untuk memperluas penyebaran dan penempatan THAAD berikut roket-roket ukuran kecil dan sedang ke kawasan Asia Tenggara, selain di Korea Selatan dan Jepang. Jika rencana ini benar-benar akan dijalankan, maka stabilitas politik dan keamanan Asia Tenggara berada dalam bahaya. Maka dari itu, para pemimpin pemerintahan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN harus kembali menegaskan komitmennya untuk tetap mempertahankan kawasan regional Asia Tenggara sebagai kawasan  Damai, Bebas dan Netral (Zone Peace, Freedom, and Neutrality, ZOPFAN) sebagaimana telah disepakati dalam Deklarasi pada tahun 1971. Waktu itu, kelima negara ASEAN yang menandatangani Deklarasi ZOPFAN itu adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura.

Bahkan harus memberikan semacam penegasan lebih spesifik, untuk melarang penempatan senjata-senjata strategis maupun senjata-senjata pemusnah massal yang berasal dari negara-negara adikuasa di kawasan Asia Tenggara. Karena bertentangan dengan Deklarasi ZOPFAN 1971 maupun TAC 1976.

THAAD tanpa keraguan termasuk senjata strategis yang dimaksud.  Sebagaimana penelisikan tim riset Global Future Institute dari berbagai sumber pustaka, THAAD memiliki jangkauan operasional 200 kilometer (km) dan dirancang untuk mencegat rudal pada ketinggian antara 40 dan 180 km.

Radar X-band THAAD  yang meskipun  akan dikonfigurasi sebagai radar kontrol tembakan  dengan kemampuan deteksi 600 km, namun pada prakteknya, bisa dikonfigurasi ulang sebagai radar peringatan dini, yang memungkinkan jangkauan deteksi melebihi 2.000 km.

Dengan kisaran tersebut sistem partahanan anti rudal THAAD milik AS tersebut, bisa digunakan angkatan laut dan angkatan udara AS untuk mendeteksi kegiatan rudal Cina di darat dan di laut di Cina utara dan timur, sehingga dapat masuk dalam radar pengawasan dan deteksi pihak Amerika Serikat.

Rencana ekspansi AS untuk menempatkan senjata-senjata strategis bermuata nuklir seperti THAAD itu, tentu saja pada perkembangannya akan memancing reaksi Cina untuk melancarkan manuver militer balasan.

Sebenarnya pada 1972 lalu, AS dan Rusia sempat menandatangani Anti-Ballistic Missile (ABM) Treaty, untuk meredakan menajamnya perlombaan senjata nuklir antara Washington dan Moskow. Sehingga pada waktu itu pengawasan terhadap perlombaan senjata nuklir maupun berhasil berfungsi maksimal, sehingga pengurangan jumlah persenjataan nuklir kedua negara adikuasa tersebut dapat terwujud.

Namun ABM Treaty tersebut dibatalkan sepihak oleh Presiden AS Donald Trump pada 2002 lalu. Sehingga tidak merasa terikat lagi dengan Treaty tersebut untuk meningkatkan skala persenjataan strategisnya di masa depan.

November 2020 lalu, AS berhasil menguji coba sistem pertahanan dari serangan rudal balistik antarbenua dengan mencegatnya menggunakan misil yang ditembakkan dari kapal perang angkatan laut. Saat pengujian, ICBM diluncurkan dari kawasan pengetesan militer di Kwajalein Atoll, Kepulauan Marshall. Rudal yang digunakan untuk meledakkan ICBM yaitu Standard Missile-3 (SM-3) Blok IIA.

Ini baru kali pertama AS mencegat ICBM dari kapal perang seperti yang dilakukan November 2020 lalu. Sebelumnya, pengujian pertahanan pada ICBM dilakukan dengan mencegat di darat yang berada di Alaska dan California. Kemampuan mencegat ICBM dari area perairan menambah kemampuan strategis sistem pertahanan AS.

Maka di sinilah bahayanya, karena perkembangan ini akan mendorong Cina dan Rusia juga mengembangkan sistem pertahanan strategisnya pada skala yang sama, untuk mengimbangi atau menggungguli kapabilitas persenjataan strategis AS tersebut.

Sebab Cina pasti tidak akan memandang pemasangan THAAD atau sistem pertahanan anti rudal sekadar buat menangkal serangan musuh AS dari jarak dekat dan menegah.

Sekadar gambaran sekilas. THAAD memiliki beberaa komponen vital guna menangkal serangan rudal. Seperti Interceptor, Launchers, Radar, Fire Control Unit, dan peralatan pendukung lainnya. Saat musuh menyerang dan meluncurkan rudalnya, radar THAAD akan bekerja mendeteksi ancaman yang datang tersebut.

Selanjutnya, rudal yang mengancam tersebut akan didentifikasi oleh sistem. Kemudian, Interceptor akan diluncurkan dari sebuah truk khusus peluncuran. Dengan memanfaatkan energi kinetik, Interceptor menghancurkan rudal yang menjadi ancaman.

Dalam kasus Cina, radar diduga dapat melihat proses kritis di mana hulu ledak dan umpan yang dilepaskan selama uji coba rudal strategis China. Dalam masa perang, hal itu bisa merusak keandalan pencegah strategis China karena dibandingkan dengan radar berbasis Alaska, radar THAAD  diyakini mampu memperoleh data lebih cepat  10 menit dari waktu peringatan dini terhadap rudal balistik strategis Cina.

Radar THAAD  juga dapat membedakan hulu ledak nyata dan  umpan. Jika diintegrasikan ke dalam jaringan pertahanan rudal nasional AS, radar ini diduga dapat meningkatkan peluang keberhasilan dalam mencegat rudal Cina bahkan pada  “fase dorongan,” yang artinya semakin mengurangi  keandalan pencegah strategis  Cina dan memiringkan keseimbangan strategis dengan Amerika Serikat.

Bukan itu saja. nalis Cina percaya bahwa Semenanjung Korea secara historis merupakan lingkup terdekat yang penting untuk keamanan Cina. Mereka khawatir bahwa dengan mengerahkan THAAD, Korea Selatan bisa berbagi data dengan Amerika Serikat dan Jepang pada kontrol lalu lintas udara, pertahanan udara, dan peringatan dini.

Bisa dibayangkan jika AS memperluas lingkup pemasangan THAAD ke Asia Tenggara seperti Singapura atau Filipina, atau ke Taiwan. Dapat dipastikan Cina, bahkan pada perkembangannya juga Rusia, akan segera memperluas ekspansi penempatan senjata-senjata strategis yang bersifat offensif ke Asia Timur dan Asia Tenggara. Jika demikian, maka perlombaan senjata dan juga proliferasi senjata nuklir di Asia Tenggara, baka tak terhindarkan lagi.

Apalagi Pentagon mengisyaratkan bahwa seturut dengan keberhasilan uji coba uji coba yStandard Missile-3 (SM-3) Blok IIA, akan segera membangun ratusan   SM-3 Block IIA interceptors yang diharapkan selesai pada 2030 mendatang.

Perlombaan senjata nuklir dan eskalasi konflik militer antara AS versus Cina di Asia Tenggara, nampaknya sudah diambang pintu. Maka seperti saya singgung pada awal tulisan tadi, Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya, harus membuat pernyataan bersama menentang penempatan senjata-senjata strategis maupun senjata pemusnah massal di kawasan Asia Tenggara. Pendek kata, ASEAN harus mempertahankan Deklarasi ZOPFAN 1971 dan TAC 1976.

source:  theglobal-review.com

No comments